Perkembangan positif pasca reformasi, khususnya setelah penyelenggaraan Pemilu 2004, adalah tuntutan akan adanya sebuah pemerintahan dan parlemen yang efektif di dalam memenuhi kebutuhan masyarakat serta mampu mewakili aspirasi dan kepentingan konstituennya secara partisipatoris, transparan dan akuntabel. Tuntutan ini semakin menguat seiring dengan meningkatnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat ditambah dengan proses demokratisasi yang semakin terkonsolidasi. Tuntutan masyarakat terhadap efektivitas lembaga perwakilan tidak hanya terkait dengan kapasitas anggota DPR dalam menjalankan fungsi anggaran, legislasi dan pengawasan, tetapi juga menyangkut kualitas representasi dimana aspirasi dan kebutuhan rakyat harus dapat direfleksikan dalam kebijakan, keputusan serta program-program pembangunan.

Penyusunan undang-undang yang dilakukan DPR tidak terlepas dari penyelenggaraan persidangan (rapat-rapat) yang merupakan elemen penting dalam pelaksanaan fungsi-fungsi parlementaria. Semua pengambilan keputusan parlemen pada dasarnya secara formal dilakukan dalam persidangan, oleh sebab itu akses menghadiri sidangsidang (rapat) menjadi bagian dari asas keterbukaan informasi publik dan kunci penting bagi partisipasi masyarakat. Sidang-sidang DPR yang terbuka, baik ditingkat panitia kerja, panitia khusus maupun sidang komisi menjadi bagian penting dalam upaya memujudkan parlemen yang akuntabel dan transparan. Dengan demikian jaminan keterbukaan informasi publik, pemberian akses terhadap persidangan serta kemauan untuk memperhatikan masukan-masukan publik menjadi prasyarat minimal bagi keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan undangundang. Pertanyaannya adalah apakah adanya jaminan terhadap keterbukaan informasi publik yang diatur dalam UU no 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) telah diimplementasikan dengan baik di DPR, jika tidak apa hambatan dan tantangannya, serta bagaimana mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Upaya-upaya mereformasi kebijakan yang terkait dengan akses informasi publik dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan undangundang menjadi faktor kunci untuk membangun DPR yang fungsional dan efektif.

Beberapa fakta dilapangan menunjukkan bahwa keterbukaan informasi publik masih terbatas dalam kaidah formalitas1 dan belum substantial sementara keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan UU juga terbatas karena hambatan baik yang berasal dari masyarakat sendiri maupun berbagai hambatan teknis dan ketentuan yang ada di DPR. Studi ini juga mengambil kasus Singapura dan Filipina untuk menarik pembelajaran yang positif terkait akses informasi publik yang terkait dengan proses legislasi serta bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang untuk dijadikan rekomendasi awal bagi peningkatan fungsi legislasi DPR. Rekomendasi tersebut meliputi hal-hal yang terkait dengan perbaikan peraturan perundang-undangan tentang KIP, peningkatan akses terhadap informasi dan partisipasi publik, peningkatan penggunaan teknologi, penguatan sumber daya manusia dan perbaikan koordinasi internal.