Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terkait konstitusionalitas pelaksanaan pemilihan umum serentak lima kotak suara. Dalam amar putusannya, MK mendalilkan bahwa pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, serta anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota secara serentak pada hari yang sama bertentangan dengan Undang Undang Dasar.
Menurut MK, format keserentakan yang sesuai dengan konstitusi adalah pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Pada pemilu nasional, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan DPR, DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak di tingkat lokal. Pemilu serentak lokal memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubenur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.
Dalam pertimbangan hukum, MK menyampaikan lima alasan mengapa pemilu serentak lima kotak bertentangan dengan UUD. Di antaranya, desain keserentakan pemilu lima kotak membuat terjadinya penumpukan beban penyelenggara pemilu yang berpengaruh pada kualitas pemilu, adanya kekosongan masa kerja penyelenggara pemilu setelah menyelesaikan tahapan pemilu dan pilkada sehingga menjadi tidak efisien dan tidak efektif, ketidakmampuan partai politik untuk melakukan rekrutmen anggota legislatif, presiden/wakil presiden serta kepala daerah dalam waktu yang berdekatan, tenggelamnya isu daerah di tengah isu nasional, dan waktu pemilu dan pilkada yang berdekatan membuat pemilih jenuh.
Policy brief ini bertujuan untuk memperkaya diskusi tentang isu-isu kepemiluan serta dampak putusan MK terhadap tatanan politik dan demokrasi Indonesia ke depan. Apalagi putusan MK nomor 135 ini diperkirakan akan mengubah sebagian besar arah politik di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa perubahaan besar dalam kepemiluan idealnya adalah konsensus bersama di antara para pembuat UU. Posisi MK sebaiknya hanya memutuskan masalah-masalah pokok (ushūl), bukan masuk pada masalah-masalah teknis (furū‘iyyah) kepemiluan. Pilihan terhadap sistem dan waktu pemilu, ke depan harusnya merupakan kewenangan pembuat UU.
Sebelum mendiskusikan lebih lanjut beberapa argumen pokok dari putusan MK, terdapat tiga pertanyaan reflektif pascaputusan MK tersebut. Pertama, apakah putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal baik atau buruk bagi pembangunan demokrasi Indonesia? Kedua, apakah alasan-alasan teknis tata kelola kepemiluan dapat menjadi dasar untuk mengubah secara fundamental waktu pemilu? Ketiga, benarkah argumen argumen pokok putusan memang sesuatu yang mengkhawatirkan atau bisa diselesaikan tanpa harus mengubah waktu keserentakan pemilu?
Untuk memudahkan menganalisis dan melihat kompleksitas putusan MK, tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan membahas argumen-argumen pokok yang disampaikan oleh pemohon dalam gugatannya. Bagian kedua akan membahas isu isu yang menjadi dasar pertimbangan MK dan seberapa valid isu tersebut.