Jakarta, 15 Oktober 2025 – CSIS Indonesia telah menyelenggarakan Talkshow bertajuk “Pro-Kontra Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah” di Auditorium CSIS Indonesia.

Talkshow ini menyoroti inti dari demokrasi lokal di Indonesia: bagaimana kita memilih kepala daerah — secara langsung atau melalui mekanisme asimetris sesuai kearifan lokal.  Berangkat dari hasil penelitian CSIS, talkshow ini menghadirkan diskusi panel yang mengulas berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam menetapkan sistem pemilihan kepala daerah berikutnya.

 

Sorotan Utama:

Dalam pidato pembuka, Wakil Direktur Eksekutif Bidang Operasional CSIS, Medelina K. Hendytio, menyampaikan bagaimana perdebatan tentang format pilkada perlu dipindahkan dari preferensi normatif ke pertanyaan yang lebih empiris yaitu desain seperti apa yang paling mampu meminimalkan distorsi insentif dan meminimalkan politik uang sehingga menghasilkan pemimpin daerah yang menyejahterakan warga.

Laporan yang dipaparkan oleh Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, menyoroti pentingnya preferensi pengusaha karena banyak keputusan strategis bergantung pada preferensi tersebut. Presiden Prabowo menyatakan keinginan untuk melaksanakan pilkada melalui DPRD dengan alasan efisiensi. Namun, terdapat perbedaan sikap antara pengusaha di sektor konstruksi serta pengadaan barang dan jasa dengan pengusaha ritel dalam menyikapi hal ini. Ke depan, jika terjadi perubahan pada level pemilihan kepala daerah, mekanisme pencalonan perlu diatur secara transparan dan akuntabel melalui Undang-Undang.


 

Diskusi Panel

Akbar Ali, Direktur Politik Dalam Negeri pada Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri RI menilai bahwa pemilihan langsung membutuhkan biaya yang sangat besar, meskipun mampu membangun keterikatan sosial yang kuat antara calon dan pemilih. Pemerintah telah mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari setiap mekanisme pilkada, baik simetris maupun asimetris. Saat ini, pemerintah masih menerima masukan dan menunggu proses keputusan bersama untuk menentukan sistem yang paling tepat bagi Indonesia.

Ahmad Doli Kurnia, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, menekankan bahwa Pilkada merupakan bagian dari pelembagaan demokrasi. Namun, praktik politik uang dan lemahnya modal sosial menjadi ancaman serius karena dapat membentuk kebiasaan negatif dalam demokrasi. Ahmad Doli juga menegaskan bahwa titik sentral otonomi daerah terletak pada pemerintah pusat yang memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota, dan selanjutnya kepada pemerintah desa.

Sarman Simajorang, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga APINDO, berpendapat apapun skema yang dipersiapkan, stabilitas politik merupakan faktor utama. Sarman menilai ketidakstabilan politik akan berdampak besar pada perekonomian, sementara kekosongan jelang pilkada dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu, apa pun sistem pemilihan kepala daerah ke depan, partisipasi publik dan stabilitas politik harus terjaga agar investor tetap percaya untuk menanamkan modal di Indonesia.

Anggawira, Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI),  menekankan perlunya reformulasi sistem politik dan pemilu untuk mencapai Indonesia emas 2045. Anggawira juga menyoroti pentingnya konsistensi kebijakan mengingat perbedaan sumber daya manusia antara Jawa dan daerah lainnya yang berpengaruh pada kualitas kepala daerah. Selain itu, reformasi partai politik dinilai krusial untuk menghindari nepotisme menjadi kultur politik—perubahan harus terjadi di hulu tidak hanya di hilir.

 

Simak diskusi selengkapnya di YouTube CSIS Indonesia melalui tautan berikut ini https://csis.or.id/L/MekanismePilkada